Ilmu Falak merupakan ilmu yang mempelajari tentang pergerakan benda-benda langit, seperti bintang, planet, bulan, dan matahari. Ilmu falak telah menjadi bagian integral dalam perkembangan peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu, terutama dalam konteks penentuan waktu dan arah kiblat dalam agama Islam. Artikel ini akan membahas tentang ilmu falak, sejarah perkembangannya, dan peran pentingnya dalam masyarakat Muslim.
Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan benda-benda angkasa khususnya Bulan dan Matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua dan langka, sebab ilmu ini ada semenjak jagad raya ini terbentuk. Kata ‘falak’ pluralnya ‘aflâk’ (dalam bahasa Arab) bermakna orbit atau edar benda-benda angkasa (al-madâr yasbah fîhi al-jirm as-samâwî). Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini masyarakat dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak (astronomi) adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt. yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dulu, dan hingga kini, langit atau angkasa (planetarium) merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari masyarakat.
Subyek pembahasan utama ilmu falak dalam Islam adalah Bulan dan Matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti waktu shalat, puasa dan kiblat diperkuat pula dengan berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan ilmu falak secara garis besar meliputi: [1.] Penetapan awal-awal bulan Qamariyah. [2.] Penetapan waktu shalat. [3.] Penentuan arah dan bayang kiblat. [4.] Penentuan terjadinya gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan.
Ilmu falak, atau ilmu astronomi dalam konteks Islam, memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Pengembangan ilmu falak di dunia Islam dimulai sejak awal munculnya agama Islam pada abad ke-7 Masehi. Ilmu falak menjadi penting bagi masyarakat Muslim karena menentukan waktu ibadah, seperti salat, dan juga untuk mengatur kalender Islam. Berikut adalah beberapa tahapan perkembangan ilmu falak di dunia Islam:
Nabi Idris kerap kali disebut ketika pembicaraan tentang founding father ilmu falak. Ia adalah orang yang pertama mengajarkan tentang perhitungan. Nama lengkapnya adalah Idris bin Syits. Nama beliau menggunakan wazn if’il untuk menyatakan mubalaghah (sangat) karena banyaknya ia mempelajari kitab dan membaca suhuf Nabi Adam dan Nabi Syits. Ia adalah orang yang pertama menulis menggunakan pena, menghasilkan ilmu hikmah, hisab, dan perbintangan. Diungkapakan bahwa, “Idris mengajarkan bilangan, ilmu hisab, tahun, bulan, dan hari.
Masa pra dan awal Islam belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun fil (Tahun Gajah, tahun lahirnya Nabi Muhammad Saw) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Kakbah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman Nabi Abu Thalib dengan ‘amul huzn (tahun duka cita) tahun pertama hijrahnya Nabi Saw sebagai ‘amul idzn (izin, yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah). Tahun kedua disebut ‘amul amr (tahun perintah, yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang), tahun kesepuluh disebut ‘amul wada' (haji wadak, tahun perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.
Pada masa Nabi Muhammad saw. Ilmu falak sebagai sebuah ilmu yang mandiri belum mengalami perkembangan. Pengetahuan bangsa Arab mengenai benda-benda langit pada saat itu bersifat pengetahuan perbintangan praktis. Pengetahuan ini untuk kepentingan sebagai penunjuk jalan di tengah gurun pasir pada malam hari. Penentuan waktu-waktu ibadah pada masa Rasulullah Saw didasarkan pada rukyat, penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan qamariah, dan kajian gerhana. Rasulullah Saw memberikan pedoman kepada umat Islam tentang memulai puasa Ramadan dan mengakhirinya. Yaitu dengan melakukan pengamatan hilal pada akhir bulan Syakban; tanggal 29. Jika hilal berhasil dirukyat, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyat, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang berlangsung.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, Gubernur Irak Abu Musa al- Asy’ari berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain: “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun”. Khalifah Umar bin Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam sahabat Nabi terkemuka, yaitu: Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan penghitungan dari tahun kelahiran Nabi (‘am al-fil, 571 M.), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama (‘am al-bi’tsah, 610 M.). Tetapi, akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali bin Abi Thalib, yaitu tahun berhijrahnya kaum muslimin dari Mekah ke Madinah (‘am al-hijrah, 622 M).
Pengembangan di bawah Kekhalifahan Abbasiyah (abad ke-8 hingga abad ke-13): Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, termasuk ilmu falak. Pada masa era ini adalah Ilmuwan seperti Al-Khwarizmi (pendiri aljabar), Al-Farghani (Alfraganus) Seorang astronom Persia yang menulis kitab "Elementa Astronomica" yang menjadi panduan penting bagi para ilmuwan Eropa. Al-Zarqali (Arzachel) membuat terobosan dalam pengukuran waktu dan pembuatan instrumen astronomi. Al-Battani (Albatenius): Ilmuwan dan matematikawan terkemuka yang mengamati gerhana matahari dan bulan secara mendetail serta menyusun tabel trigonometri yang akurat. Nasir al-Din al-Tusi: Ilmuwan Persia yang menciptakan alat ilmiah, termasuk sebuah instrumen untuk mengamati gerhana dan semacam astrolab yang dikenal sebagai "Tusi Couple." Mereka mengembangkan model planetarium baru berdasarkan teori episiklik dan deferent yang menggabungkan konsep heliosentris Copernicus dengan sistem geosentris Ptolemaeus.
Penyempurnaan dan Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan Dunia Barat: Kemajuan dalam ilmu falak yang dicapai oleh sarjana Muslim telah membantu menyebarkan pengetahuan ini ke dunia Barat melalui proses perpindahan intelektual selama Abad Pertengahan. Karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diadopsi oleh para sarjana Eropa, yang berdampak besar pada perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa pada masa it
Tokoh-tokoh penting dalam sejarah perkembangan Ilmu Falak antara lain:
al-Fazzari (abad ke-8) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang- bintang dan sebagainya).
Al-Khawarizmi menulis kitab al- Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Kitab ini sangat memengaruhi pemikiran para cendikiawan Eropa. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester tahun 535/1140 dengan judul Liber Algebras et Almucabala dan tahun 1247/1831 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.
Abu Ma’syar al-Falaky (w. 272/ 885). Karyanya antara lain, Isbah al-Ulum dan Hai’ah al-Falak.
Jabir al-Battani (w. 319/931). Ia telah menetapkan letak atau posisi bintang dan menciptakan teropong bintang. Karyanya adalah Kitab Ma’rifah Mathali’ al-Buruj Bain Arba al-Falak.
Abu ar-Raihan al-Biruni (w. 440/1048). Di antara karyanya adalah al-Qanun al-Mas’udy yang merupakan sebuah ensiklopedi astronomi yang dipersembahkan kepada Sultan Mas’ud Mahmud ditulis pada tahun 421/1030. Selain ahli ilmu falak, al-Biruni juga menguasai filsafat, matematika, geografi, dan fisika.
Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Katsir al- Farghani atau dikenal di Barat dengan Alfarganus merupakan ahli Falak yang berasal dari Farghana, Transoxania sebuah kota yang terletak di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa khalifah al-Ma’mun (813- 833 M) sampai pada masa al- Mutawakkil (847-881 M) pada masa Daulah Abbasiyah. karyanya adalah Jawami’ al-‘Ilm an-Nujum, al-Madkhal Ila ‘Ilm Hai’ah al-Falak, dan kitab al-Fushul ats-Tsalatsin. Semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh John Hispalensis dari Seville dan Gerard dari Cremona pada tahun 899/1493.
Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan Nashir ad-Din ath-Thusi (w. 673/1278). Penelitian yang dilakukannya antara lain tentang lintasan, ukuran, dan jarak planet Merkurius; terbit, terbenam, jarak matahari dan bulan; dan kenaikan bintang-bintang. Karyanya antara lain: al-Mutawasith baina al- Handasah wa al-Hai’ah berisikan kumpulan karya terjemahan dari bahasa Yunani tentang geometri dan astronomi, at-Tadzkirah fi ‘Ilm al-Hai’ah merupakan hasil penyelidikan dalam bidang astronomi, dan Zubdah al-Hai’ah berupa intisari astronomi.
Muhamad Turgay Ulugh Bek (797-853/1394-1449). Ia mendirikan observatorium di Samarkand Uzbekistan pada tahun 823/1429 dan menyusun Zij Sulthani.
Perkembangan ilmu falak di dunia Islam merupakan bagian integral dari warisan intelektual dan ilmiah peradaban Muslim yang kaya. Kontribusi para ilmuwan Muslim dalam astronomi telah mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan secara global dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Oleh sebab itu mata pelajaran ilmu Falak di Madrasah muallimin Muallimat 6 tahun masih tetap diajarkan sampai saat ini. Harapannya, dari madrasah inilah akan muncul generasi ahli falak dan praktisi ilmu falak di masa yang akan datang. Wallahu A’lam bi al-Shawab
Penulis : H. Muhyiddin, Lc., MM (Guru Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun Tambakberas Jombang)