• madrasatuna.1953@gmail.com
  • 0321-865280 (Putri) / 0321-3083337 (Putra)
  • Home
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Sambutan Kepala Madrasah
    • Struktur Personalia Organisasi
    • Jenjang Belajar Dan Ijazah
    • Data Guru
  • Program
    • Program Strategis 5 Tahun (2023-2028)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2023-2024)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2024-2025)
  • Publikasi
  • Pengumuman
  • Download
  • Kontak

Pesona Masjid Al Azhar Kairo

  • Home
  • Berita
Artikel Minggu, 03-November-2019 18:06 6709

Saksi Sejarah Dunia Pendidikan Islam

Sebelum meninggalkan Kota Kairo, 24 Februari 2018 tahun lalu, saya menyempatkan diri shalat di Masjid Al-Azhar. Masjid yang satu ini memberikan kenangan tersendiri bagi saya. Di masjid inilah, kala masih menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar pada akhir tahun 2007-an, saya mengikuti pengajian talaqqi Syeikh Prof. Dr. Yousri Rusydi Sayd el Gabr kitab Risalah Qusyairiyah, Syeikh Prof. Dr. Ali Goum’ah kitab Sunan Al Nasa’I, Syeikh Prof. Dr. Rabi’ Gauhari Kitab Jauharoh al Tauhid, dan Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib kala itu masih menjadi Rektor Universitas Al Azhar, saat ini beliau menjadi Grand Syeikh Al Azhar (pemimpin tertinggi al Azhar), “hey anakku ahmad” tiba-tiba Syeikh Thayyib memanggil sambil menunjuk jari, “asalmu mana?”. “Indonesia wahai Syeikh” ahmad menjawab. “kamu jauh-jauh datang dari Indonesia yang berjarak ribuan kilo meter, tapi disini hanya tidur saja, Ahmad anakku, sana pergi wudlu dulu” seperti inilah Syeikh Thayyib mengingatkan kami mahasiswa dan memperlakukan seperti anaknya sendiri. Dan di masjid inilah saya dapat mendamaikan hati kala kerinduan terhadap keluarga di Indonesia begitu menyergap mengoyak benak dan relung hati. Hal itu dengan mengikuti pengajian yang diberikan oleh sejumlah syeikh. Tak aneh, kala hati sedang galau, saya saat itu kadang berada di masjid Al-Azhar  dari siang hingga malam hari. Entah kenapa, hati saya sepertinya saat itu terasa damai kala berada di masjid yang renta itu. Seperti apakah kisah masjid ini yang umurnya seusia dengan kota Kairo?
Jawhar Al-Shiqilli, panglima perang penguasa ke-4 Dinasti Fathimiyah: Al-Mu‘iz li Dinillah, yang memulai pendirian masjid ini pada 24 Jumada Al-Awwal 359 H/4 April 970 M. Sementara peresmian masjid ini, dengan pertama kali dilaksanakannya shalat Jumat di dalamnya, dilakukan pada Ramadhan 361 H/Juli 972 M. Ukurannya kala itu adalah separoh ukurannya masjid pada saat ini. Masjid ini, kala itu, dirancang sebagai pusat pembinaan, pendidikan dan pengajian masyarakat.
Guru besar pertama yang mengajar di Al-Azhar adalah Al-Qadhi Abu Al-Hasan Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 374 H/984 M. Ia adalah putra seorang ahli hukum Islam: Al-Nu‘man bin Muhammad yang wafat pada 363 H/974 M. Seperti halnya sang ayah, ia juga seorang ahli hukum dan sastrawan, seperti halnya saudara kandungnya Al-Qadhi Muhammad bin Al-Nu‘man yang wafat pada 389 H/999 M. Sedangkan tokoh terkemuka yang menimba ilmu di Al-Azhar pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah adalah Pangeran Al-Mukhtar ‘Abdul Malik Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al-Hurrani, yang lebih terkenal dengan sebutan Al-Misbagi, seorang sejarawan (366-420 H/976-1029 M), dan Abu ‘Abdullah Al-Qudha‘i, juga seorang sejarawan terkemuka yang terkenal sebagai penulis pertama annal Mesir. Dari sejarawan terakhir itulah Taqiy Al-Din Al-Maqrizi, Al-Hasan bin Zaulaq yang terkenal dengan karyanya tentang Dinasti Ikhsyidiyyah, dan Abu Al-Qasim Al-Ra‘ini Al-Syathibi, seorang ahli qira’at terkemuka, menimba ilmu. Sementara ahli ilmu al jabar yang menimba di Al-Azhar kala itu adalah Al-Hasan bin Al-Khuthair Al-Farisi.
Ketika Shalah Al-Din Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Mesir pada tahun 1181 M, ia pun memberhentikan pendidikan & pengajaran di Al-Azhar. Hal itu ia lakukan karena pendidikan & pengajaran di lembaga pendidikan tersebut kala itu dikaitkan dengan Aliran Syiah Isma‘iliyah yang tidak mendapat dukungan darinya. Namun, setelah kaum Sunni telah berhasil merengkuh kembali posisi tradisionalnya di Mesir dan mereka menaruh kembali perhatian untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan fikih sunni, mereka pun menjadikan Al-Azhar sebagai pemangku tugas tersebut sampai tumbangnya Dinasti Ayyubiyyah.
Ketika Mesir berada pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, Al-Azhar berhasil memulihkan posisinya di bidang ilmu pengetahuan, sebagai pusat pertemuan para guru besar, staf pengajar, dan mahasiswa. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut juga mulai berfungsi secara penuh sebagai sebuah lembaga ilmiah yang dikelola dan dibiayai oleh negara berdasarkan ketetapan dan keputusan yang jelas. Sehingga, karenanya, masjid ini pun mengalami perluasan dan pengembangan sampai akhirnya memiliki ukuran seperti yang ada saat ini. Tak aneh jika masjid itu berubah menjadi seperti halnya sebuah kota mandiri. Ini karena penambahan dan perluasaan di bidang ilmiah yang dilakukan membuat masjid ini sebagai sebuah kota pelajar (Madinah thalabah), yang terdiri dari sejumlah gedung yang masing-masing disebut Ruwaq. Di antara gedung-gedung tersebut terdapat bangunan yang disiapkan bagi para mahasiswa luar daerah maupun luar negeri, baik dari Mesir sendiri maupun dari pelbagai penjuru dunia Islam. Misalnya Ruwaq Kurdi, Ruwaq India, Ruwaq Baghdad, Ruwaq Burno (kini Chad), Ruwaq Sinnariyyah (Sudan), Ruwaq Jawi, Ruwaq Syam, Ruwaq Sha‘id, Ruwaq Syarqiyyah, Ruwaq Buhairah, Ruwaq Syafwaniyyah, dan Ruwaq-Ruwaq lainnya. Namun, para mahasiswa tidak tidur di Ruwaq-Ruwaq tersebut. Ruwaq-Ruwaq tersebut malah lebih mirip sekretariat, perpustakaan, dan tempat penyimpanan khusus buku-buku mereka. Karena itu, selain Ruwaq-Ruwaq tersebut, terdapat sebuah Ruwaq khusus bagi para mahasiswa yang memperdalam Mazhab Hanbali dan Hanafi.
Seperti diketahui, bangunan pertama Al-Azhar–seperti halnya ketika didirikan oleh panglima Jawhar Al-Shiqilli merupakan sebuah masjid yang memiliki ukuran tidak lebih dari separuh Masjid Al-Azhar. Kala itu masjid ini terdiri dari shahn terbuka, seperti yang ada hingga saat ini yang dibatasi oleh lengkung-lengkung lancip, bait ash-shalahnya yang berada di sebelah utara shahn, dan dua sayapnya di sebelah kiri dan kanan yang masing-masing terdiri dari tiga ruangan.
Selepas itu masjid ini mengalami pelbagai perluasan sehingga masjid raya lamanya menjadi berada di jantung tengah Masjid Al-Azhar dalam bentuknya seperti yang ada saat ini. Perluasan dan pengembangan yang dialami masjid ini terdiri dari sejumlah bangunan, seperti halnya ruangan-ruangan, gedung-gedung kuliah, mihrab-mihrab, dan tempat-tempat wudhu baru. Akibatnya, masjid ini pun kehilangan bentuk aslinya dan tampilan-tampilan artistiknya. Tak aneh jika saat ini masjid Al-Azhar menjadi mirip dengan pameran besar seni Islam di Mesir, sejak masa pemerintahan Dinasti Fathimiyyah hingga dewasa ini.
Apabila seseorang memasuki Pintu Al-Muzayyinin, yaitu pintu utama Masjid Al-Azhar yang terletak di Taman Al-Azhar, maka ia akan memasuki sebuah lintasan panjang. Di sebelah kanan lintasan terdapat gedung Madrasah Al-Aqbaghawiyah yang dibangun oleh seorang pangeran dari Dinasti Mamluk bernama ‘Ala’ Al-Din Aqbagha ‘Abdul Wahid pada 740 H/1339 M di lahan Al-Azhar dan kemudian diserahkan pada Al-Azhar. Sang pangeran memang terkenal sangat menaruh perhatian terhadap lembaga pendidikan tersebut. Karena itu ia juga mendirikan bait ash-shalah dan dinding kiblat, dan menara di gedung yang didirikannya tersebut. Menurut Al-Maqrizi, kala itu bagian dalam madrasah tersebut demikian gelap. Menurutnya, karena sang pangeran yang mendirikannya mendapatkan dananya secara tidak sah dari masyarakat dan para tukang yang membangunnnya. Seperti diketahui, sang pangeran adalah seorang komandan pasukan pada masa pemerintahan Raja Al-Nashir Muhammad bin Qalawun. Sampai waktu yang belum lama, madrasah tersebut digunakan sebagai Perpustakaan Al-Azhar.
Sementara di sebelah kiri lintasan terdapat gedung lama Madrasah Al-Thaibarisiyah yang dinisbatkan kepada Pangeran ‘Ala’ Al-Din Thaibars Al-Khazindar, seorang wakil panglima pasukan Dinasti Mamluk pada masa pemerintahan an-Nashir Muhammad bin Qalawun. Madrasah tersebut didirikan sebelum Madrasah Al-Aqbaghawiyah pada 719 H/1319 M. Berbeda dengan Pangeran Aqbagha, Pangeran Thaibars terkenal sebagai seorang tokoh yang lurus dan saleh. Selain sebagai sekolah, madrasah tersebut juga digunakan sebagai masjid. Tak aneh jika madrasah tersebut dirancang bagus dan indah, sehingga menelan dana yang cukup besar. Dari bagian dalam, gedung madrasah tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu contoh yang menawan seni Islam. Sejak 1314 H/1896 M madrasah tersebut dijadikan sebagai bagian dari Perpustakaan Al-Azhar.
Seusai melewati lintasan di antara kedua madrasah tersebut, sang pengunjung akan memasuki shahn lapang Masjid Al-Azhar yang dikelilingi bukaan-bukaan dari segala arah. Shahn tersebut berada di posisi sebelum Masjid Al-Azhar lama. Berikut, ia akan memasuki bait ash-shalah yang berujung pada dinding kiblat lama, disambung dengan perluasan yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman Katkhada, seorang tokoh kelompok Mamluk di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyyah. Memang, ia dipandang sebagai orang yang sangat menaruh perhatian besar terhadap bangunan Masjid Al-Azhar pada masa silam. Pada 1167 H/1753 M, misalnya, ia memugar bangunan-bangunan Al-Azhar dan menambah bagian utara bait ash-shalah yang asli. Perluasan tersebut, yang lebih dari separuh ukuran asli masjid ini, berupa pendirian bait ash-shalah baru lengkap dengan dinding kiblat dan mihrab yang tegak di atas lima puluh tiang, sementara di atasnya terdapat lima puluh lengkung yang memiliki gaya yang sama dengan lengkung-lengkung telah ada sebelumnya. Sedangkan pada dinding kiblat baru didirikan sebuah mihrab yang sangat indah, dan di atas balathah mihrab dibuat sebuah kubah nan indah. Selain itu, karena perluasan tersebut, dibuat pula sebuah mihrab yang menawan dan di samping mihrab tersebut dibuat sebuah mihrab berukuran lebih kecil yang disebut Mihrab Al-Dardir dan sebuah mihrab lagi yang belum lama dibuat. Dengan perluasan itu sendiri membuat bait ash-shalah masjid ini menjadi yang terluas di Mesir.

Selain perluasan ke arah utara tersebut, didirikan pula sebuah bangunan besar yang memiliki sebuah pintu besar yang menuju ke Distrik Katanah. Pintu tersebut kini lebih terkenal dengan sebutan Pintu Al-Shaya‘idah. Pintu tersebut merupakan sebuah pintu gerbang besar yang dibuat oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Di atas pintu tersebut dibuat sebuah ruangan khusus untuk menghapal al-Qur‘an bagi anak-anak. Sedangkan di bagian taman lapang berdinding, ‘Abdurrahman Katkhada mendirikan makam, tempat penampungan air, dan saluran air. Di atas makam tersebut dibuat sebuah kubah kecil. Sementara di samping Pintu Al-Shaya‘idah didirikan sebuah menara yang dinisbatkan kepada Katkhada. Demikian halnya ia juga berjasa besar dalam pendirian pintu gerbang utama Al-Azhar yang kini disebut Pintu Al-Muzayyinin.
Saat ini Masjid Al-Azhar memiliki lima menara dengan lima gaya yang berbeda. Ini karena menara-menara tersebut didirikan pada masa yang beragam. Dua menara di antaranya didirikan oleh ‘Abdurrahman Katkhada. Satu menara lagi didirikan oleh Sultan Qa‘it Bey dan satu menara lagi didirikan oleh Sultan Al-Ghuri. Menara yang didirikan Sultan Qa‘it Bey, yang merupakan menara terbesar, memiliki dua mustika dan dua serban.
Sekitar bulan Maret 2014 Syeikh Ali Goumah diwawancarai di sebuah Televisi Nasional Mesir, beliau mengatakan bahwa Indonesia dengan Presidennya waktu itu Ahmad Soekarno sangat berjasa bagi bangsa Mesir dan dunia keilmuan Islam. Syekh Ali Goumah adalah ulama yang pernah menjabat sebagai Mufti Mesir, Guru Besar Fikih dan Ushul Fikih Al-Azhar dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Haiah Kibaril Ulama, badan khusus yang mewadahi ulama-ulama senior di universitas Al-Azhar. 
Syeikh Ali Goumah mengemukakan bahwa Ahmad Soekarno menyelamatkan Al-Azhar dari ancaman penutupan oleh Presiden Gamal Abdul Nasser. Alasan penutupan karena ulama Al-Azhar diduga banyak yang bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya. Ketika Presiden Nasser berniat menutup al Azhar dan mengatakan keinginan itu pada Presiden Soekarno, saat itu Presiden Soekarno mempertanyakan niat penutupan Al-Azhar  itu.“Wahai Gamal, kenapa Anda mau menutup Al-Azhar?  Wahai Gamal, apakah anda akan menghancurkan Pyramid dan melenyapkan sungai Nil? Al-Azhar itu terlalu penting untuk dunia Islam. Kami mengenal Mesir justru karena ada Al-Azhar,” kata Presiden Soekarno.“Wahai Ahmad Soekarno, Ya, itulah langkah terbaik bagi kita semua.” Jawab Presiden Nasser.“Wahai Gamal, tidak ada itu istilah penutupan. Anda wajib menata kembali Al-Azhar, mendukungnya dan mengembangkannya, bukan malah menutupnya.”. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1959, Atas jasa Presiden Soekarno tersebut, Universitas Al-Azhar pada masa Syeikh Mamoud Syalthout menganugerahkan doctor kehormatan atau Doktor Honoris Causa kepada Presiden Soekarno dalam kunjungannya yang ketiga ke Mesir pada bulan April 1960, sedangkan pemerintah Mesir menganugerahkan kehormatan nama beliau sebagai nama jalan di sudut kota Kairo. Kemudian Presiden Nasser menerbitkan undang-undang nomor 103 tahun 1961 yang menegaskan bahwa Al-Azhar menjadi rujukan keislaman bukan hanya untuk Mesir saja tetapi untuk seluruh dunia. Wallahu a’lam.

Oleh: H. Muhyidin, Lc, MM
(Staf Pengajar Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun)


Nb: Grand Syeikh Mahmoud Syalthout pada tahun 1960-an pernah berkunjung ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dan memberikan ceramah di Masjid pondok Induk.

Bagikan :

Tags

Masjid Al Azhar Kairo Mesir

Data dan Fakta

Jumlah Rombel 83 Rombel
Jumlah Total Siswa 3.003 orang
Jumlah Siswa Putra 1.500 orang
Jumlah Siswa Putri 1.503 orang
Guru dan Pegawai 203 orang

Pengumuman Terbaru

  • Edaran PTS I 2024/2025
  • Jadwal PTS I Tahun Ajaran 2024/2025
  • Brosur PPDB 2024

Berita Terkini

Evaluasi Dan Perencanaan Tahunan Program Madrasah, Kamad: Ada Progress Menuju Lebih Baik
Apel Akhir Tahun Dan Penerimaan Rapot, Bidang Kesiswaan Sampaikan Beberapa Hal Penting
Penerimaan Rapor PAT, Kepala Madrasah Ingatkan Siswa Untuk Bermuhasabah Setelah Melakukan Pembelajaran Selama Satu Tahun
Dalam Rapat Kenaikan, Pimpinan Madrasah Tekankan Hal Ini
Rapat Pleno Kenaikan Kelas Tahun Ajaran 2024/2025

Gallery

  • Album(4)
  • Video(25)

Link Pendidikan

  • UNIVERSITAS AL AZHAR
  • KEMENAG RI
  • PENDIS KEMENAG RI
  • PP BAHRUL ULUM

Tentang Kami

Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang didirikan pada tahun 1953 oleh KH Abdul Fattah Hasyim. Madrasah ini menjalankan kurikulum 70% pelajaran Salaf Pesantren dan 30% pelajaran Kurikulum Nasional. Siswa Madrasah Muallimin Muallimat mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) bagi siswa kelas 3, dan mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Aliyah (MA) bagi siswa kelas 6.

Profil
  • Sejarah
  • Visi dan Misi
  • Sambutan Kepala Madrasah
  • Struktur Personalia Organisasi
  • Jenjang Belajar Dan Ijazah
  • Data Guru
Alamat

Jl. Tanjung, dusun Gedang, Tambakrejo Jombang, Jawa Timur, Indonesia

Copyright © 2025 All rights reserved | mualliminenamtahun.net