Pertengahan 2003, saya sering ke dalem Kiai Nashir di Pondok Tambakberas. Bukan untuk ngaji, tapi mengantar seperangkat alat komputer. PC, monitor, kadang hanya mengantar memori atau motherboard saja. Karena saat itu, selepas dari asrama Ma'had UIN Malang, saya memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga toko komputer "Jawara" di kawasan Joyosuko, belakang kampus.
Juragan saya namanya Nuril Huda. Saya memanggil, Mas Nuril. Owner "Jawara Computer" ini alumni Tambakberas, dan menjadi khodam Kiai Nashir. Apalagi, Kiai Nashir terkenal aktif dan produktif, sehingga kebutuhan terhadap media tulis berupa komputer sangat urgen.
"Kiai saya itu sangat aktif dan produktif. Meskipun Kiai salaf, tetapi tidak mau ketinggalan. Beliau biasa mengakses internet untuk menelusuri kitab-kitab klasik maupun modern. Bahkan Kiai sering komunikasi dengan para ulama di Mesir lewat email..." cerita Mas Nuril waktu mengajak saya sowan Kiai Nashir pertama kali.
Saat itu, sekitar tahun 2003, untuk mengakses internet masih sangat langka. Para dosen dan mahasiwa saja masih terbiasa mengakses data dari buku yang berjejer di rak perpustakaan, dan sulit untuk mengakses dari internet. Apalagi para Kiai, masih alergi dengan internet. Tetapi Kiai Nashir sudah sangat bersahabat dengan internet. Saya jadi penasaran.
Malam itu, saya langsung diajak masuk ke kamar pribadi Kiai Nashir. Sambil mengusung PC dan monitor komputer, saya mengendap masuk ke kamar yang dipenuhi dengan kitab-kitab berbahasa Arab. Di kamar ini, saya sendirian memasang rakitan sederhana PC dan monitor. Sedangkan Mas Nuril menunggu Kiai Nashir yang sedang mengaji bersama santri.
Saya membayangkan, Kiai Nashir ini berpenampilan modern. Pakai celana dan jas. Kacamata sebagai identitas orang cerdas. Ngomong dengan bahasa ilmiah layaknya dosen perguruan tinggi.
Setelah selesai memasang rakitan komputer, tiba-tiba masuk seseorang berperawakan sederhana. Kaos kampiun putih polos. Pakai sarung tak begitu rapi. Sambil mengisap sebatang rokok dan lalu asapnya disemburkan dengan leluasa. Disusul Mas Nuril yang berjalan mengendap sambil bertutur lirih.
"Ayo salaman, Bang. Ini kiai saya...!" perintah Mas Nuril dengan nada tertelan.
Saya kaget separuh tak percaya. Inikah Kiai Nashir itu? Sosok kiai modern, yang biasa murasalah dengan para ulama Timur Tengah lewat intenet? Tapi kok biasa saja penampilannya? Hanya pakai kaos kampiun, sarungan, rokok'an. Ah, sayapun menggamit astah-nya, lalu mencium mengharap berkah.
"Aku jaluk tolong sampean, Nuril. Saya baru beli laptop di Mangga Dua Jakarta. Tapi kayaknya rusak. Tolong sampean bawa ke Mangga Dua, tanyakan kok bisa begini. Ini tanda garansinya...!" dawuh Kiai Nashir.
Mas Nuril mengangguk pelan. Mengiyakan. Saya takjub. Kiai yang berkaos kampiun ini keren. Padahal jaman sakmono, jarang sekali Kiai bisa mengoperasikan komputer, lha beliau sudah menggunakan laptop. Padahal laptop masih tergolong barang langka saat itu.
Sepekan kemudian, Mas Nuril mengajak saya berangkat ke Mangga Dua Jakarta untuk menjalankan perintah Kiai Nashir. Saya merasa senang berlipat-lipat. Pasalnya, ini adalah pertama kali saya berkunjung ke ibukota. Juga karena perjalanan ini atas perintah seorang Kiai besar, salah satu pengasuh Pondok Tambakberas.
Selain saya, Mas Nuril juga mengajak anak istrinya ikut ke Jakarta. Jalan-jalan sekalian ngalap berkah dari menjalankan perintah guru. Sepanjang jalan, diatas mobil Katana, Mas Nuril tidak jenuh menceritakan Kiai Nashir. Ketakjuban Mas Nuril kepada Kiai Nashir bukan hanya karena beliau adalah gurunya, tetapi karena Kiai Nashir tergolong kiai progresif yang aktif dan produktif. Kiai Nashir adalah Kiai Salaf yang modern.
Setelah saya tidak di "Jawara Computer", sudah tak pernah sowan ke Kiai Nashir lagi. Kalaupun ke Tambakberas, hanya ziarah ke Mbah Wahab saja. Tidak ada akses untuk sowan para Masyaikh di pondok ini. Tetapi cerita tentang Kiai Nashir masih kerap saya akses, baik dari para alumni Tambakberas, maupun lewat media sosial.
Terakhir saya mendengar cerita tentang Kiai Nashir dari penuturan Ustadzah Hafshoh Nadia Faradisi , salah satu pengajar di Tambakberas. Ustadzah Hafsoh bercerita tentang Kiai Nashir saat saya sambang ke rumahnya di dekat pondok Tambakberas.
Meskipun saya tidak pernah sowan Kiai Nashir, tetapi setidaknya masih sambung silaturahmi dengan Bunyai Syafiyah Fattah , salah satu kerabat beliau yang di Malang. Karena sejak 2005 sampai saat ini, saya masih berkhidmah mengajar di Pondok Puteri Al Hikmah Al Fathimiyah (AHAF) Malang yang diasuh oleh Bunyai Syafiyah, saudari Kiai Nashir.
Kabar lelayu yang mewartakan kewafatan Kiai Nashir benar-benar menjadi mendung duka yang menggelayuti langit Tambakberas, juga menggelayuti hati para santri dan pencintanya. Saya, walau bukan alumni Tambakberas dan hanya beberapa kali berjumpa, tetapi sangat berkesan dengan Kiai Nashir. Ketawadhuan dan kebersahajaan Kiai Nashir senyawa dengan kealimannya, menjadi jariyah inspirasi bagi siapapun yang pernah bertemu beliau, termasuk saya. Dan alangkah senangnya para santri Tampakberas yang pernah menimba ilmu dan berkhidmah kepada beliau, Kiai Nashir Fattah.
Selamat jalan Kiai. Nikmat barzakh adalah tempat peristirahatan yang menyenangkan untuk Panjenengan, Kiai...
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه، الفاتحة....
Oeh: Oemar Hawariy
(Jedong Malang)
_____________
Kepada para alumni dan pencinta Kiai Nashir, saya mohon maaf jika ada bahasa yang kurang pas didalam menarasikan kenangan saya dengan beliau. Semula saya merasa enggan menulis kenangan ini, karena saya bukan siapa-siapa, bukan alumni. Saya hanya seorang santri abadi pencinta para Kiai saja. Terpaksa saya menulis kenangan ini setelah saya konsultasi dengan beberapa Asatidz. Dan juga karena saya tidak bisa takziyah langsung ke Tambakberas. Lahul fatihah.