Tulisan ini menjadi tulisan terakhir yang penulis dedikasikan kepada beliau, Kiai Nashir. Walaupun apabila merujuk kepada judul yang tertera, tujuh tulisan yang yang sudah ada masih belum dapat mencakup seluruh kebaikan-kebaikan Kiai Nashir, barangkali hanya setitik hitam kecil di kertas putih. Mahaasin sebagaimana tinjauan gramatika bahasa Arab termasuk bagian dari isim ghairu munshorif, mahaasin disini cukup memiliki ‘illat shiighat muntahaa al-jumuu’ saja sehingga ia tidak boleh bertanwin. Shiighat muntahaa al-jumuu’ sendiri berarti bentuk jama’ (plural) yang telah mencapai puncak, tidak dapat diperbanyak lagi dalam bentuk yang lain. Dalam bahasa yang sederhana, tidak terhingga. Kiasan yang agaknya cukup sesuai karena untuk menarasikan kebaikan-kebaikan Kiai Nashir dalam bentuk tulisan merupakan sebuah pekerjaan yang melelahkan tiada habisnya.
Kiai Nashir itu mendidik tanpa menyinggung perasaan siswa. Penulis yang waktu itu duduk di bangku paling depan, memakai seragam yang kancingnya tidak lengkap sehingga sambil mencatat pelajaran penulis berusaha menunduk agar bagian dalam seragam tidak terlihat. Kiai Nashir tiba-tiba saja menyelipkan cerita tentang Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki yang suka sekali berpenampilan bagus dengan pakaian kebesarannya.
Kiai Nashir itu bertanggung jawab dengan keputusannya. Penulis yang saat itu masih berat hati menerima permintaan beliau agar tetap di Tambakberas dituntun secara perlahan untuk menggapai cita-cita dengan tetap berkhidmah. Beliau memberikan rekomendasi agar penulis dapat mengajar di pondok dan madrasah yang beliau pimpin tanpa lupa mengingatkan penulis untuk segera melanjutkan kuliah di jenjang yang lebih tinggi.
Kiai Nashir itu mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Buku ‘Kiai Nashir di Facebook’ yang saat itu banyak terjual bisa saja dimodalkan menggunakan uang pondok, tetapi beliau memilih untuk memberikan modal dari uang beliau secara pribadi. Itu pun yang diminta untuk dikembalikan hanya modalnya saja, keuntungan buku justru masuk ke kas pondok padahal apabila melihat isi buku tersebut adalah tulisan beliau secara keseluruhan sah-sah saja andaikata beliau meminta uang dari keuntungan buku tersebut.
Kiai Nashir itu sangat peka dengan lingkungan sekitar. Pendirian Unit Jasa Boga (UJAGA) yang menyediakan makan santri notabene akan menggusur kantin-kantin yang sudah ada, tetapi berkat pedoman yang diarahakan Kiai Nashir agar pondok mengakomodasi juru masak dari para penjual dan menetapkan bahwa makan yang disediakan pondok hanya pagi dan malam maka hal itu tidak terjadi. Beliau seringkali mewanti-wanti bahwa pendirian koperasi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi monopoli pasar yang berakibat tergerusnya toko-toko lain di sekitar Tambakberas.
Kiai Nashir itu sangat peduli kepada santri. Akhirnya penulis menikah, bersamaan dengan saat ibu penulis wafat. Saat itu tepat tujuh hari setelah kewafatannya, penulis masih sendiri di Tambakberas dan kemudian meminta kepada beliau untuk mengantarkan ke rumah mempelai perempuan. Beliau melakukan hal yang lebih dari yang dimintakan, di ndalem saat itu KH M. Irfan Sholeh dan KH Taufiqurrahman Mukhid telah membersamai beliau untuk lalu mengantarkan penulis menuju tempat yang ditentukan. Bukan hanya itu, keluarga beliau bersama beberapa santri juga membawakan penulis beberapa seserahan dan hadiah.
Kiai Nashir itu sangat menenangkan hati. Empat tahun setelah menikah, penulis dan istri yang termasuk pasangan yang masih belum dikaruniai momongan akhirnya memutuskan melakukan program kehamilan. Atas kuasa Allah, saat itu program kami belum membuahkan hasil namun kami bersepakat untuk tetap gigih melanjutkan program kehamilan walaupun saat itu ada penilaian bahwa ikhtiar semacam itu jangan terlalu dipaksakan, karena itu seakan tidak menerima takdir Allah. Kiai Nashir justru menjelaskan bahwa ikhtiar itu harus dilakukan dengan gigih agar kita dapat memposisikan diri sebagai hamba dan memposisikan Allah sebagai Tuhan yang memiliki kekuasan atas hal itu. Tidak berhenti sampai di situ, beliau memberikan arahan pada dokter tertentu di Surabaya agar program kehamilan kami menjadi lebih maksimal.
Sengaja penulis ceritakan beberapa pengalaman penulis dengan Kiai Nashir di atas, selain sebagai tahadduts bin-ni’mah, penulis ingin menunjukkan bahwa beliau memiliki ‘karomah’ yang lain, yang lain dari yang dipahami banyak orang. Hingga pada akhir dalam menutup tulisan ini ,penulis masih tetap merasa tidak sopan dan tidak sepantasnya berbicara tentang Kiai Nashir seperti ini dan khawatir kalau-kalau beliau sendiri tidak berkenan. Kearifan beliau seperti yang dikenal banyak orang yang kemudian membuat penulis memberanikan diri mengulang memori kenangan dengan beliau selama ini. Semoga tulisan-tulisan ini memberikan kemanfaatan dan barokah bagi kita semua.
Oleh : Robi Pebrian