Kata dzkir disebutkan tidak kurang dari 200 kali dalam Al-Qur’an, objeknya bisa bermacam-macam. Kata dzikr dapat berarti banyak hal, di antaranya adalah berdzikir, merenung, mengingat, menyebut-nyebut. Nabi Muhammad pernah bersabda Udzkuruu mahaasina mautaakum. Dalam hal ini, Nabi Muhammad ingin menekankan anjuran untuk merenung, mengingat, menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan orang-orang yang mati di antara kalian, maka kegiatan semacam tahlilan, haul, peringatan kematian dan sebagainya bisa menjadi semacam aktifitas untuk melaksanakan anjuran Nabi Muhammad tersebut.
Kalau kita berbicara tentang Kiai Nashir secara paripurna, maka akan menjadi pekerjaan yang teramat sulit karena begitu beragamnya aktifitas beliau dalam bermacam-macam bidang. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Kepala Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Bahrul Ulum, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang dan sekian jabatan lain.
Kesulitan itu juga disebabkan kontradiksi kepribadian Kiai Nashir. Kiai Nashir adalah orang begitu serius namun juga suka bercanda. Dalam hal-hal yang mengharuskan keputusaan penting, dengan khas gaya bicaranya, Kiai Nashir seringkali mengutarakan kata-kata asing yang kemudian membuat suasana menjadi cair. Kiai Nashir adalah seorang yang sangat rasional namun pada saat yang sama, Kiai Nashir menjadi suprarasional yang bahkan mendekati irasinoal. Seperti seringnya ajakan-ajakan beliau dalam membaca wirid-wirid tertentu dalam menghadapi situasi genting yang mana situasi tersebut telah diputuskan secara strategik dan dilandaskan berbagai argumen. Bagi orang-orang yang belum memahami, mereka akan menganggapnya hal ini tidak masuk akal.
Kiai Nashir adalah pemimpin yang suka bermusyawarah tetapi terkadang karena begitu kuatnya kepribadian beliau dan cara-cara beliau dalam mempertahankan pendapatnya, seolah orang-orang menganggapnya sebagai pemimpin yang otoriter. Kiai Nashir adalah seorang pemimpin visioner yang melihat jauh ke depan, tetapi pada saat yang sama selalu dan tidak pernah luput untuk menengok sejarah yang di belakang. Kiai Nashir bukan saja mendalilkan tetapi juga mempraktikan ungkapan yang dikenal orang-orang berilmu, yakni: Al-Muhaafazhah ‘Ala Al-Qadiim As-Shalih Wal-Akhdzu Bi Al-Jadiid Al-Ashlah
Sebetulnya hal yang begitu kontradiksi dalam batas diri Kiai Nashir tersebut oleh beberapa pakar ilmu dikatakan sebagai sebuah kemustahilan. Tetapi perlu diketahui bahwa seseorang yang telah mencapai puncak kematangan akal dan kesucian hati maka ia akan dapat menggabungkan hal-hal yang bertolak belakang tersebut. Dalam Al-Qur’an dinyatakan Wa maa ramaita idz ramaita...(Al-Anfal: 17), bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar tetapi Allah yang melempar. Ayat ini bisa diterima khalayak ketika presepsi ilmiah yang kuat terhadap ayat disandingkan dengan keimanan yang suci nan bersih.
Kiai Nashir telah mempersembahkan ruang khusus bagi kita untuk terus menelaah dan kemudian meneladani apa yang telah beliau upayakan selama ini. Terkadang, dalam situasi yang begitu sulit, kita dihadapkan oleh keadaan yang oleh Kiai Nashir telah mengingatkan sebelumnya sehingga membuat kita tersentak. Begitupun di masa depan, bisa jadi pikiran-pikiran beliau yang melampaui masa depan baru akan kita sadari saat ini setelah beliau pergi. Maka seperi itulah layaknya purnama yang selalu dicari-cari keberadaannya di tengah pekatnya malam.
Oleh : Robi Pebrian