Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama dalam suatu komunitas masyarakat dengan jangka hidup waktu yang lama. Mereka saling berinteraksi dan melakukan tindakan yang menghasilkan timbal balik kepada sesamanya. Sehingga tidak mustahil terjadi konflik sosial di antara mereka. Sehingga dapat memunculkan tindakan-tindakan yang menyimpang dari nilai- nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dianggap tidak sesuai dengan akhlak yang terpuji. Dalam menindak lanjuti penyimpangan tersebut masyarakat tidak harus main hakim sendiri melainkan harus adanya keadilan yang ditegakkan dalam mengatasi penyimpangan tersebut. Oleh karenanya keadilan dalam suatu komunitas masyarakat sangatlah penting untuk selalu ditegakkan.
Sikap adil adalah suatu tindakan/akhlak yang sangat terpuji dan bahkan harus selalu ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalam al-Qur‟an pun aspek yang banyak dipaparkan adalah aspek akhlak, yaitu aspek yang mengatur hubungan makhluk kepada Allah seperti firman-Nya dalam Q.S. Ash-Shaffāt [37]:159-160, Q.S. Asy-Syūra [42]:05 dan Q.S. Al-Muzammil [73]:09, hubungan sesama mannusia sebagaimana tertulis di dalam Q.S. Al-Baqarah [02]:83 dan Q.S. An-Nisā [04]:86 dan hubungan kepada lingkungan sebagaimana tertulis di dalam Q.S. Al-An‟ām [06]:38. Dari tiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai mkhluk ciptaan-Nya diharuskan untuk selalu bergaul dengan apapun dan siapapun yang disebut habl minallah dan habl minannās.
Bentuk-Bentuk Keadilan
Keadilan merupakan salah satu prinsip dalam ajaran Islam yang mencakup semua hal. Seperti yang telah disinggung bahwa Allah swt. menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan. Keadilan yang dituntut dalam kehidupan sehari-hari, pada prinsipnya dapat dirinci ke dalam beberapa bagian;
1. Keadilan dalam Persaksian
Dalam QS al-Nisa/4: 135 Allah swt. berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.
Dalam hukum Islam, ada lima persyaratan bagi seorang saksi yaitu, adil, baligh, beragama Islam, merdeka (bebas mengeluarkan pendapat), dan tidak terlibat dalam tuduhan. Dan para ulama sepakat menjadikan “adil” sebagai salah satu syarat bagi seorang saksi, yang berbeda hanyalah kategori saksi yang adil. Jumhur ulama mengatakan bahwa adil hanyalah sifat tambahan dari orang yang beragama Islam. Karena dengan menjalankan ajaran keislamannya yaitu menjalankan perintah Allah dan meninggalkan segala yang dilarang, sudah dianggap orang yang adil.
2. Keadilan dalam Rumah Tangga (Istri)
Dalam QS al-Nisa/4: 3, Allah swt. Berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
Terjemahnya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam penafsiran Muhammad Mahmud Hijazi, bahwa ayat ini menjadi dasar perintah untuk menikah, sekaligus larangan untuk menghimpun pada saat yang sama yaitu lebih dari empat orang istri pada seorang pria. Mengingat bahwa pada masa Jahiliyah, mereka mengawini wanita sesuka hatinya sehingga dengan terpaksa mengambil harta anak yatim, yang kemudian hal ini terlarang semuanya. Dan bahwa setelah Allah swt. melarang memakan harta anak yatim dan khawatir berlaku tidak adil, maka hendaknya untuk tidak mengawini anak yatim tersebut namun tidak melarang mereka untuk kawin, sebab Allah swt. telah mensyariatkan menikahi siapa saja wanita yang disukai dari satu sampai empat orang.
3. Keadilan dalam Menegakkan Kebenaran
Keadilan hukum mengandung makna yang mendalam dalam menegakkan kebenaran, karena keadilan hukum, asasnya adalah persamaan hukum atau equality before the law. Setiap orang harus diperlakukan sama terhadap hukum. Dengan kata lain, bahwa hukum harus ditegakkan terhadap siapa pun secara adil. Dalam QS al- Maidah/5: 8.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُون
Dari ayat ini dipahami bahwa tidak dibenarkan seseorang untuk tidak berlaku adil terhadap seseorang (suatu kaum), karena kemarahan atau kebencian terhadap mereka itu. Tetapi senantiasa dianjurkan untuk berlaku adil kepada siapapun dan di mana pun, bahkan sekalipun ia adalah seorang musuh.
4. Keadilan dalam Ekonomi dan Komunikasi
Dalam QS al-An’am/6:152 Allah swt. Berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُۥ ۖ وَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ وَٱلْمِيزَانَ بِٱلْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَٱعْدِلُوا۟ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ ٱللَّهِ أَوْفُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sangat dituntut untuk berlaku jujur dalam hal mengurus harta anak yatim; dan berlaku adil dalam ucapan. Dalam sisi lain, ayat tersebut menerangkan bahwa ukuran-ukuran keadilan harus terukur secara benar, tepat, dan sesuai dengan kenyataannya; realitas yang sesungguhnya, tanpa melibatkan wilayah yang tidak jelas, kelabu, dan buram. Semua serba jelas, bisa diuji oleh siapa pun juga, yang dalam bahasa teknis disebut “persidangan terbuka untuk umum”.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an dalam mengungkap al-‘adl, mengarah kepada term al-qist, al-mizan dan al-wasat memiliki makna yang sama secara tekstual, yakni “keadilan”. Namun, secara kontekstual memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dalam hal ini, term al-‘adl lebih umum cakupannya ketimbang al-qist. Term al-‘adl tersebut digunakan untuk hal-hal yang bisa dicapai seperti persoalan hukum. Sedangkan term al-qist adalah obyek yang terukur lebih nyata dan indrawi, misalnya; pengukuran dengan menggunakan takaran dan timbangan, seperti halnya term al-mizan yang bermakna timbangan. Kemudian al-wasat yang juga bermakna pertengahan.
2. Keadilan menurut al-Qur’an adalah memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai hak yang harus diperolehnya; memperlakukan yang mutlak sama antar setiap orang tanpa “pandangbulu”; menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban; serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Pada prinsipnya, penerapan keadilan dapat dilihat dalam beberapa bentuk yang dituntut dalam kehidupan manusia, di antaranya yaitu keadilan dalam persaksian, rumah tangga (isteri), menegakkan kebenaran, ekonomi dan komunikasi.
Dari kajian ini diharapkan untuk melakukan penafsiran kembali mengenai keadilan, sehingga keadilan tidak difahami secara keliru. Dalam konteks Indonesia, pemahaman keadilan dapat dikembangkan ke dalam wilayah sosial politik dan bermakna horizontal. Misalnya peduli terhadap hukum yang berkeadilan dan berkemanusiaan dalam bentuk kepedulian sosial yang mensejahterakan. Karena selama penindasan dan ketidakadilan masih tetap dipraktekkan oleh sebagian umat manusia, maka wacana tentang keadilan masih akan terus relevan untuk dikaji dan didiskusikan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab
Penulis : H. Muhyiddin, Lc., MM (Guru Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun Tambakberas Jombang)