Manusia adalah spesies makhluk hidup yang memiliki model kehidupan yang paling kompleks dibanding makhluk lainnya. Lingkungan kehidupan manusia yang diisi oleh berbagai macam masyarakat ini tak lepas dari berbagai norma, peraturan, dan nilai moral serta etika yang berlaku dan telah berkembang dalam masyarakat sejak dahulu kala.
Hal-hal tersebut adalah suatu hasil dari proses budaya yang telah berlalu dan melekat erat pada identitas masyarakat. Nilai-nilai yang melekat ini kemudian melahirkan berbagai faham, konsep sosial, serta stereotip yang muncul kemudian. Salah satu stereotip yang muncul adalah stereotip bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Stereotip perempuan yang merendahkan dalam konteks kepemimpinan masih menjadi kenyataan yang perlu diatasi dalam masyarakat kontemporer. Meskipun kemajuan signifikan dalam mencapai kesetaraan gender, stereotip ini terus menjadi penghalang bagi perempuan yang bercita-cita menjadi pemimpin.
Kemudian kita perhatikan sejenak bahwa mungkin sudah banyak kemajuan umat manusia dalam bidang intelegensi serta gerakan emansipasi bagi kaum yang tertindas yang sering digaungkan sejak abad ke-18. Akhirnya dalam beberapa dekade terakhir, perempuan telah memainkan peran yang semakin dominan dalam dunia profesional, termasuk dalam dunia kepemimpinan. Meskipun begitu, perempuan yang memimpin masih sering kali menjadi sorotan dan diselidiki dari berbagai perspektif, termasuk dalam bidang psikologi gender.
Siapa itu pemimpin?
Jika kita bicara tentang pemimpin, maka kita tidak bisa lepas dari kepemimpinan. Kepemimpinan adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola dan menginspirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi melalui aplikasi teknik- teknik manajemen (Turney dalam Nurrohman & Ramadhan, 2020).
Jadi bisa dikatakan bahwa memimpin adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang pemimpin ini sangat erat kaitannya dengan sifat dominasi dan ketegasan. Pertanyaannya, apakah perempuan pantas untuk memimpin?
Perempuan yang memimpin
Sebelum menjawab pertanyaan sebelumnya, mari kita kembali ke teori tentang gender-role socialization. Dalam teori gender-role socialization dijelaskan bahwa perilaku seorang manusia itu merupakan bentuk dari proses yang dijalani dalam lingkungannya dari kecil (Helgeson, 2016). Proses ini melibatkan implemetasi norma, nilai-nilai, dan harapan sosial yang ditanamkan oleh masyarakat terhadap individu berdasarkan jenis kelamin.
Bagi perempuan, stereotip gender yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah ciri khas maskulin dapat memengaruhi perkembangan peran gender mereka sepanjang hidup. Dampaknya adalah adanya tantangan psikologis bagi perempuan yang bermimpi menjadi pemimpin, karena mereka harus menentang norma yang sudah terbentuk secara budaya.
Dalam konteks peran gender pada perempuan pemimpin, teori gender-role socialization menyoroti bagaimana pengaruh lingkungan sejak kecil dapat membentuk pandangan dan sikap perempuan terhadap kepemimpinan. Proses ini mungkin menimbulkan beban psikologis yang mempengaruhi cara perempuan pemimpin melihat diri mereka sendiri dan kepercayaan diri mereka. Ada kemungkinan bahwa mereka merasa perlu memenuhi ekspektasi sosial yang mendasari stereotip gender tradisional, yang kemudian dapat menciptakan konflik antara identitas pribadi dan harapan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memahami lebih lanjut peran gender dalam pembentukan kepemimpinan perempuan, kita harus mempertimbangkan pengaruh teori gender-role socialization untuk mengidentifikasi metode mengatasi hambatan psikologis ini.
Seiring dengan perubahan paradigma sosial dan upaya mencapai kesetaraan gender, penting untuk disadari bahwa peran gender bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam mengukur potensi kepemimpinan. Perempuan pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang unik dan beragam, yang sebaiknya tidak diukur atau dibatasi oleh stereotip gender. Dengan memahami implikasi psikologis dari proses gender-role socialization, masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kepemimpinan tanpa batasan gender.
Hal ini akan memberikan kesempatan bagi perempuan pemimpin untuk mencapai puncak potensi mereka tanpa beban ekspektasi sosial yang tidak realistis dan dapat menciptakan dunia di mana nilai kepemimpinan dihargai tanpa memandang jenis kelamin. Walaupun begitu, di realita sekarang, seorang perempuan yang memimpin cenderung seperti masih di bawah bayang-bayang laki-laki. Hal ini menyebabkan terpengaruhnya kepercayaan diri, motivasi, dan kesejahteraan psikologis mereka.
Transformasi budaya dan kesetaraan gender dalam kepemimpinan
Melihat realita yang memiliki dinamika sebegitu hebatnya dalam menyoroti perempuan yang memimpin, maka dipandang perlu untuk adanya transformasi pola pikir dan budaya dalam masyarakat yang masih memiliki pola pikir tradisional yang kurang relevan untuk masa sekarang. Apalagi dengan stereotip bahwa yang pantas dan layak untuk memimpin hanyalah laki-laki saja. Laki-laki lebih dihubungkan dengan wewenang abstrak dan dengan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan (Rahim, 2016).
Stereotip ini menjadi dasar bagi harapan tertentu terkait peran laki-laki dalam kepemimpinan, menekankan keterkaitan mereka dengan kekuasaan dan kehidupan politik. Transformasi budaya yang mendukung kesetaraan gender dalam kepemimpinan harus melibatkan dekonstruksi stereotip ini dan membentuk pemahaman bahwa kemampuan kepemimpinan tidak bergantung pada jenis kelamin.
Dalam konteks kesetaraan gender dalam kepemimpinan, diperlukan perubahan budaya yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dengan potensi yang setara. Pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kepemimpinan harus mencakup pengakuan terhadap variasi gaya kepemimpinan yang dapat dimiliki oleh semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Penting untuk diingat bahwa stereotip yang mengaitkan laki-laki dengan wewenang abstrak dan kehidupan politik dapat menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan. Transformasi budaya yang lebih inklusif dan mendukung kesetaraan gender akan memastikan bahwa perempuan tidak hanya dipandang sebagai alternatif pemimpin, tetapi juga sebagai pemimpin yang setara dan berkompeten dalam berbagai aspek kepemimpinan, termasuk dalam wewenang abstrak dan kehidupan politik.
Kesimpulan
Stereotip gender, khususnya pandangan bahwa perempuan tidak mampu memimpin, masih merupakan kenyataan yang perlu diatasi dalam masyarakat sekarang. Meskipun terdapat perkembangan dalam mencapai kesetaraan gender, pandangan tersebut masih menjadi hambatan bagi perempuan yang memiliki ambisi kepemimpinan.
Teori gender-role socialization memberikan pemahaman tentang bagaimana lingkungan sejak dini dapat membentuk pandangan dan sikap perempuan terhadap kepemimpinan, menciptakan tantangan psikologis. Meskipun perempuan semakin mendominasi dunia profesional dan kepemimpinan, mereka masih sering menjadi sorotan dan penelitian, menciptakan hambatan terhadap keyakinan diri dan kesejahteraan psikologis.
Transformasi budaya yang mendukung kesetaraan gender dan usaha untuk menghilangkan stereotip menjadi krusial untuk menciptakan lingkungan kepemimpinan yang inklusif. Meskipun tantangan masih ada, langkah-langkah ini dianggap sebagai perubahan positif menuju inklusivitas dan kesetaraan gender dalam kepemimpinan.
Penulis: Muhammad La Rayba Fie (Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Alumni Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun)