Beberapa hari yang lalu, instagram penulis mendadak ramai oleh unggahan story yang memakai template serupa, berisikan dawuh dari salah satu Masyayikh kami saat belajar di Tambak beras beberapa tahun silam. dawuhnya begini :
"Lakonono perkoro wajib sing ono ning ngarepmu engko bakal ditoto karo Pengeran"
Lakukan perkara wajib yang ada dihadapanmu, dan kehidupanmu selanjutnya akan ditata oleh Tuhan.
dawuh ini datang dari KH. Abdul Nashir Fattah, Kiai yang pitutur dan nasihatnya sering penulis dengar kala masih menjadi siswa di Madrasah Muallimin Muallimat Enam Tahun Tambakberas Jombang.
Namun, entah kenapa, hari ini dawuh itu bunyi dan rasanya terasa berbeda seperti panggilan lembut yang datang tepat ditengah kekalutan menjadi mahasiswa akhir.
Mungkin karena penulis mulai lelah. Lelah melihat timeline dipenuhi teman-teman yang sudah menapaki tangga baru dalam kehidupannya, ada yang sudah wisuda, diterima kerja, dan mengarungi mahligai bahtera rumah tangga, dan berbagai pencapaian mereka.
Penulis masih disini, mulai bergulat dengan skripsi -alhamdulilah nya sudah dapat dosen pembimbing dan judul- dan mencoba menata ulang arah hidup yang masih belum tentu arahnya.
Dalam situasi ini, dawuh beliau terasa seperti rem yang menahan penulis untuk tidak melaju terlalu jauh ke masa depan. Bahwa tugas penulis hari ini adalah melakukan apa yang wajib yang ada didepan mata, bukan menerka hari esok yang masih belum kita temui.
Penulis jadi teringat, Ning Khilma Anis, penulis Kenamaan Nasional yang juga Alumni Pondok Pesantren Tambakberas pernah mengatakan “semua manusia punya wadah, jatah, dan wayahnya masing-masing”.
"Tak apa kita sedikit terlambat Jangan pernah membandingkan proses dan langkahmu dengan orang lain. Kita mengarungi lautan yang sama tapi dengan kapal yang berbeda. Semua manusia memang hidup di bumi yang sama tapi dengan takdir yang berbeda", begitu kata dari Gus Faiz Syukron Ma’mun Ketua MUI DKI Jakarta.
Setidaknya dawuh-dawuh diatas memperkuat penulis bahwa mungkin hidup memang tidak harus selalu dipenuhi dengan rencana dan deadline besar, alon-alon asal kelakon. Dalam konteks menjadi mahasiswa akhir, hal paling kecil yang bisa dimulai adalah membaca satu artikel. Tak perlu langsung dibaca keseluruhan, cukup abstraknya terlebih dahulu, kemudian tandai bagian yang penting.
Begitu pula saat menulis skripsi, jangan memulai dengan target yang terlalu besar. Mulailah dengan menulis satu paragraf, bahkan satu kalimat. Atau mungkin dengan membaca satu rujukan, karena langkah kecil itulah yang akan membawa kita menuju pencapaian yang lebih besar.
Mungkin memang beginilah hidup, kita ingin cepat, Tuhan ingin tepat, seperti dalam Mutiara Kitab Al Hikam Karya Imam Ibnu Athaillah Assakandari, beliau dawuh :
لا يَكُنْ تأَخُّرُ أَمَدِ العَطاءِ مَعَ الإلْحاحِ في الدُّعاءِ مُوْجِباً لِيأْسِكَ. فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الإِجابةَ فيما يَخْتارُهُ لَكَ لا فيما تَخْتارُهُ لِنَفْسِكَ. وَفي الوَقْتِ الَّذي يُريدُ لا فِي الوَقْتِ الَّذي تُرْيدُ.
Terlambat datangnya pemberian (Allah), meski sudah dimohonkan berulang-ulang, janganlah buatmu patah harapan. Karena dia telah menjamin untuk mengabulkan permintaanmu sesuai dengan apa yang Dia pilihkan untukmu, bukan menurut keinginan engkau sendiri. Juga dalam waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan
Pada akhirnya, hidup bukan perlombaan siapa yang sampai duluan, tapi tentang siapa yang mampu bertahan dan setia menjalani prosesnya. Semoga kita tetap menjadi manusia yang selalu menebar kemanfaatan, menjalani kehidupan ini dengan untaian senyuman meski tak jarang ada satu dua tiga cobaan (bahkan lebih) menghampiri, namun bukankah bertahan dengan senyuman adalah mereka yang paling berani ?
Moh. Sahru Romadhon (Alumni Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Angkatan 2022)