Tokoh yang menjadi fokus dalam artikel ini -sepengetahuan penulis- adalah seorang pakar yang mampu melembutkan fiqih dengan ‘tongkat ajaib’ keahliannya dalam bidang sastra. Menurut catatan yang banyak beredar, perjalanan ilmu Kiai Wazir sebelum mencapai puncak kariernya dilalui secara kontinyu di Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pondok Pesantren Al-Hidayah Purwogondo Jepara, dan Pondok Pesantren Bustanul Arifin Batoan Kediri. Secara formal, beliau tercatat sebagai lulusan Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM) Kajen tahun 1981. Penulis ingat betul cara beliau berkelakar tentang perjuangannya menghafalkan Alfiyah, Al-Jauhar Al-Maknun dan nadham lainnya ketika masih di pesantren.
Secara pribadi, penulis sebenarnya tidak memiliki kedekatan khusus dengan beliau. Penulis hanyalah salah satu murid yang pernah beliau ajar di Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul ‘Ulum Tambakberas. Saat itu, beliau mengampu mata pelajaran balaghah di kelas empat dan lima, kitab pegangannya adalah Al-Jauhar Al-Maknun. Sedikit ada kejanggalan yang penulis rasakan saat itu, karena di masanya beliau sudah dikenal luas sebagai salah seorang partner Kiai Nashir di PCNU Jombang, khususnya dalam bidang fiqih. Ndilalah kok mengajarkan kami ilmu balaghah di madrasah, sebuah ilmu bahasa yang membahas tentang pengaturan maksud penyampaian teks. Apa relevansinya dengan kemasyhuran beliau di bidang fiqih?
Fiqih acapkali dianggap sebagai ilmu yang final and binding, sudah mencapai garis finish dan mengikat. Misalkan dalam hukum shalat jama'ah, kekuatan hukumnya akan lebih tinggi bagi kaum laki-laki karena ia dianggap mempunyai aktifitas luar rumah (outdoor) lebih banyak dari kaum perempuan. Dalam madzhab Syafi'i hukum yang populer ditetapkan adalah fardhu kifayah bagi laki-laki, ancaman bagi yang meninggalkannya adalah al-qatl. Silahkan pembaca bebas untuk menerka-nerka makna dari hukuman tersebut, ia bisa berarti membunuh, memerangi, mengucilkan dan hukum represif lainnya. Sebagian 'ulama menerapkan hukum ini berdasarkan hadits Nabi Saw. yang terang-terangan mengancam orang yang meninggalkan shalat jama'ah dengan membakar rumahnya.
Contoh lain adalah dalam kasus nazhr al-mar'ah (penglihatan pada seorang perempuan). Hampir seluruh 'ulama sepakat mengharamkan hal ini apabila dilakukan pada perempuan non mahram untuk selain hajat, lebih-lebih pada objek aurat. Andai diterapkan tanpa pertimbangan 'urf maka sulit sekali untuk menghindarkan diri dari kondisi ini, entah karena definisi hajat yang begitu multi tafsir atau karena dinamkinya yang memaksa kita untuk 'tanpa sengaja' melihat perempuan non mahram.
Nah, ajaran Kiai Wazir dalam ilmu balaghah-nya ini seolah mencuci otak penulis dalam menginterpretasikan teks. Fiqih yang selama ini kita anut seharusnya membuka pintu selebar-lebarnya untuk melakukan penalaran rasional yang tuntas dalam banyak disiplin ilmu, bukan yang langsung dengan merujuk pada ayat Al-Qur’an atau sabda Nabi Saw. Itu dianggap kelancangan apalagi kalau dilakukan orang yang tidak kompeten.
Dalam pandangan para pakar, penalaran di bidang fiqih harus ada kerangka penglihatan yang jelas, dan kerangka berpikir serba deduktif itu disistematisasikan dalam sebuah teori hukum yang dinamai ushul fiqh. Metode inilah yang menentukan bagaimana ayat Al-Qur’an atau sabda Nabi Saw. harus diberlakukan dalam setiap masalah yang timbul. Juga bagaimana keputusan diambil kalau tidak ada dalil berupa ayat Al-Qur’an atau sabda Nabi Saw, melalui analogi (qiyas), konsensus (ijma’), dan sebagainya. Pada akhirnya pembahasan mengenai ushul fiqih ini mau tidak mau akan membahas tentang bahasa. Spesifik dalam bahasa Arab, aturan itu dituangkan ke dalam ilmu nahwu, dan ilmu bahasa Arab lain seperti shorof dan balaghah.
Hasil dari cuci otak Kiai Wazir ini membuat penulis mencoba untuk berimajinasi. Andai Kiai Wazir mengajar kami waktu itu di kelas dengan mengampu mata pelajaran fiqih dan membahas dua masalah di atas maka beliau -menurut keyakinan penulis- akan melakukan identifikasi kritis asal-muasal hukum tersebut ada, dengan daya tariknya yang memikat akan mengajak kami bermain tendensi makna kata dan mengurainya dengan ciamik menjadi sebuah kesimpulan.
Ancaman membakar rumah bagi yang meninggalkan jama'ah bukanlah makna faktual yang ingin Nabi Saw. kehendaki di kehidupan selanjutnya, mana mungkin nabi kita tercinta ini semena-mena terhadap hak orang lain, lebih-lebih umatnya sendiri. Ancaman tersebut dapat diinterpretasikan secara general menjadi peringatan keras sekaligus motivasi kuat kepada kita agar semaksimal mungkin untuk ajeg shalat jama'ah. Dalam balaghah ini dinamakan muqtadhaa al-hal (kontekstualisasi).
Perhatikan ayat ghadhdh al-bashar (memenjamkan mata), dalam Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan maf'ul bih (objek). Yang menginterpretasikan dipersilahkan untuk menyesuaikannya dengan adat kebiasaan yang ada. Maf'ul bih yang tidak disebutkan ini masuk dalam ranah ilmu ma'ani bab al-hadzf dalam balaghah, motifnya bisa bermacam-macam.
Tapi sekarang semua tinggallah andai.
*Robi Pebrian (saat ini pengajar di Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul ‘Ulum Tambakberas)